-->

Keseimbangan Otak Kiri Dan Kanan


cungkring.com : Jika rerata orang Indonesia bekerja sekitar 40 jam per pekan, di Belanda rerata jam kerja hanya sekitar 27,4 jam per minggu dengan pendapatan sekitar $55.000 per tahun (2018) sehingga kebanyakan sejawat di kampus hanya bekerja senin-kamis. Dengan waktu kerja yang singkat namun produktivitas lebih baik. Apa kuncinya? Konsentrasi alias fokus.  

Kalau saya perhatikan bagaimana sejawat Belanda dan Jerman yang proporsinya paling banyak di jurusan, mereka memang fokus sehingga jam kerja untuk bekerja dan jam istirahat untuk istirahat atau sekedar untuk “borel” alias minum bersama di hari kamis sebelum berlibur jum’at sampai minggu. 

Ketika kami mengikuti orientasi dengan “menjadi pribadi yang efektif” model Stephen Covey, Lea sejawat postdoctoral asal Jerman menekankan pentingnya memulai kerja dengan fokus. Untuk memastikan surat-surat elektronik terekam dengan cepat, cukup sediakan waktu 5-10 menit untuk sekedar memetakan untuk sore menjelang pulang merespon.  


Ternyata menjadi pribadi yang efektif sudah diinternalisasi dan dibiasakan sejak usia dini di usia prasekolah usia 4-5 tahun atau setara grup 1 dan 2 BasisSchool di Negeri Oranye. Enam tahun lalu, tepatnya pada hari senin, 18 Agustus 2014 merupakan awal tahun ajaran si Bungsu memasuki grup 2 setelah libur musim panas yang cukup panjang sekitar 1,5 bulan. 

Sepulang sekolah hari pertama, putri kami membawa dua lembar kertas, yaitu: pertama, hasil menggambar dan mewarnai hari pertama sebagai upaya mengeksplorasi ekspresi anak-anak pada hari pertama sekolah sehingga diharapkan mereka merasa nyaman dan betah di sekolah sekalipun kadang ada satu dua siswa yang masih menangis ketika ditinggal orang tua. 


Kedua, anak-anak juga membawa selembar surat dari sekolah untuk orang tua bersifat penting dan mendesak yang intinya mengingatkan adanya kutu di salah satu kepala siswa, "Helaas is de klas van uw kind hoofdluis geconstateerd" atau terjemah lugasnya sayangnya, ditemukan kutu di salah satu kepala siswa kelas ini, demikian pembuka surat yang cukup panjang lebar mengulas kutu dan konsentrasi. 

Kenapa masalah kutu di kepala salah satu anak demikian penting sehingga berkirim surat dan anjuran keramas dengan shampo? Menurut penjelasannya, kutu di kepala satu anak akan membuat anak tersebut gatal dan menggaruk, di mana garukan siswa akan mengganggu konsentrasi dan juga dengan mudah menyebar dari satu anak ke anak yang lain sehingga sungguh membahayakan "proses pembelajaran", bukan?  


Hal yang sama juga berlaku untuk menguap. Kami pernah diceramahi terkait putri kami yang menguap di kelas yang ditindaklanjuti dengan kunjungan guru ke rumah setiap siswa untuk memastikan tidur lebih awal maksimal jam 7 malam, di samping memberi arahan terkait konsumsi makanan yang bergizi dan seimbang serta memastikan anak-anak tidak stres. 

Memperhatikan persekolahan di negeri Belanda ini cukup menarik, misalnya ketika si Cikal dan putra kedua mendaftar di Borgman Openbare BasisSchool, kepala sekolah langsung menerima dan menawarkan untuk langsung sekolah saat itu juga atau besoknya. 


Sekolah tak bertanya apalagi meminta data pendidikan anak seperti raport atau surat pindah sekolah yang telah kami siapkan sejak dari tanah air. Itulah wajib belajar, tak perlu surat yang penting berapa usianya untuk dimasukan ke kelas sesuai dengan usianya.

Sebulan setelah bersekolah, kami mendapatkan dua buah surat beserta kuesioner isian terkait perkembangan kesehatan fisik, psikologis dan juga kenyamanan (well-being), lalu surat harus dikembalikan dan diantar langsung orang tua untuk dikonsultasikan dengan guru dan tenaga medis sekolah. 


Sebelum pengecekan isian kuesioner dan konsultasi, anak-anak dicek fisik standar, berat badan, darah, tinggi badan dan penilaian "cukup", lalu disuruh berdiri dengan satu kaki dan beberapa gerakan tubuh yang mengingatkan cerita sekolah orang tua di zaman sekolah rakyat dahulu kala. Nampaknya, dalam segala aspek Belanda memastikan keberlanjutan dengan terus menjaga yang lama yang baik dan melakukan inovasi tambahan untuk yang lebih baik. 

Seusai konfirmasi cek fisik dan kuesioner medis, mengancik ke psikologis semisal apakah anaknya senang, nyaman, stress atau tidak? Kemudian apakah tidurnya nyenyak atau masih suka atau sesekali ngompol dan senarai pertanyaan-pertanyaan lainnya yang kadang seperti berulang dengan pembalikkan yang dalam uji statistik penting untuk memastikan "validitas dan reliabilitas". 


Tak lupa juga ditanya terkait makanan dan kudapan yang biasa disantap untuk memastikan kecukupan gizi sehingga anak-anak Indonesia yang sudah lebih dari 1 tahun tinggal di sini, lebih padat badannya karena seimbang asupan, kudapan dan gerakan fisik yang cukup.

Karena setiap kuartal ada informasi beragam olahraga di luar sekolah yang berbiaya murah dengan rujukan sekolah dan sangat dianjurkan minimal ikut salah satu terutama berenang sebagai keterampilan dasar anak. Cek fisik dan psikis tersebut terasa cukup panjang, namun akan bermanfaat karena data tersebut dijaga dan dicek untuk perkembangan selanjutnya. 

Hal yang menarik dari sekolah dasar di Belanda, kedua anak kami tidak pernah mengeluh ada pelajaran yang rumit apalagi ujian yang membuat merinding para siswa pada umumnya. Selama 8 tahun dari grup 1-8 tak pernah ada pekerjan rumah namun siswa tidak naik kelas biasa alias bukan hal aib. 


Adapun materi pembelajaran sedikit dan dipadatkan menjadi sains (IPA), humanity dan history (semacam IPS), matematika, keterampilan, kesenian dan olahraga dengan penekanan aspek praktikal keseharian untuk bisa hidup secara baik sebagai mana prinsip Dellor, yaitu: belajar untuk tahu, melakukan, mampu hidup berdampingan dan belajar untuk menjadi warga masyarakat dengan mempersiapkan fisik yang prima, jiwa yang kokoh dan perilaku yang mulia sehingga bisa hidup di masyarakat dengan sehat jasmani, rohani dan sosial yang ditandai tidak adanya keluhan kesakitan sehingga terjadi absensi atau sakit di dalam kelas. Selanjutnya sebagai calon warga negara belajar saling menghargai dan mengasihi alias "silih asah, asih dan asuh" lewat konsep "tak ada toleransi untuk terjadinya perundungan (bullying), baik fisik maupun psikis. 

Selanjutnya, pada jenjang TK-SD yang digabung dalam format grup 1-8 (4 - 12 tahun), belum diperkenalkan bahasa Asing namun secara umum orang dewasa di Belanda mampu bertutur Bahasa Inggris dengan cukup baik sehingga kita bisa nyaman beli sayuran dan buah-buahan di pasar sekalipun tak bisa berbahasa Belanda. Mereka belajar Bahasa Asing pada jenjang SMP dengan efektif dan praktis sehingga mampu bertutur secara aktif. Singkatnya, pendidikan dasar diarahkan untuk menggabungkan revolusi putih dan revolusi mental lewat sekolah.

Revolusi putih dipraktikkan dengan susu yang sangat murah dan tersedia di mana-mana dipadu dengan gerak motorik lewat beragam klub olahraga yang tersebar di setiap RW dan kelurahan dan revolusi mental dengan penekanan pendidikan karakter dan kebanggaan bahasa nasional serta tak mentoleransi adanya perundungan (bullying) dan kekerasan, baik fisik maupun non-fisik seperti pengisolasian agar semua siswa hidup inklusif.

0 Komentar

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel