Fenomena Beli Emas Dimasa Pandemi
cungkring.com : Maraknya fenomena beli emas di masa pandemi ini, yang bisa dibeli mulai dari pecahan terkecil 0.1 gr hingga batangan membuat hati kecil saya tergerak untuk menuangkan apa yang ada di pikiran saya. Tulisan ini tidak bicara halal haram, tetapi lebih kepada sumbang saran dalam konsep ekonomi islam. Bagaimana ekonomi islam bisa menjadi solusi adanya resesi ekonomi di masa pandemi.
Tulisan ini juga dipersembahkan kepada orang-orang yang sejak lama telah konsisten memperjuangkan ekonomi islam dengan meninggalkan segala bentuk transaksi ribawi, khusunya untuk kalangan "midleclass moslem". Sekedar memberikan sudut pandang wawasan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan harta sesuai konsep ekonomi islam.
Fenomena beli emas saat ini rupa-rupanya dipicu oleh nilai tukar emas yang naik drastis pada beberapa waktu terakhir. sehingga dirasa emas adalah satu-satunya alat investasi yang tidak akan jatuh nilainya. Ketika Nilai tukarnya sudah naik, hampir tidak bisa turun lagi. Dan nilai emas dari tahun ke tahun sama.
Saya tidak membahas jauh untuk apa motivnya, tetapi yang jelas adalah beli untuk disimpan, alias ditahan sendiri. Yang itu dipastikan tidak ada konsep perputaran harta di sana. Tetapi kenapa mereka mengistilahkannya sebagai investasi?
Bagaimanakah kaidah investasi yang benar?
Berdasarkan ilmu yang saya dapatkan dari Ustadz Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc. MA- seorang pakar ekonomi islam dari UIN Maliki Malang, dalam ekonomi Islam, harta itu flow concept.
Harta harus bergerak dan mengalir, tidak boleh diam. Bahkan Islam menjadikan salah satu maqashid (tujuan) kepemilikan harta adalah _al tadawul yang dalam Al Hasyr_ ayat 7 dikatakan, “Agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja”.
Salah satu instrumen untuk menggerakkan harta adalah dengan investasi (istitsmar). Bagi yang memiliki harta lebih, setelah digunakan untuk konsumsi dan donasi wajib (zakat), didorong oleh Islam agar berinvestasi.
Menurut beliau kemestian berinvestasi ini dapat ditinjau dari dua model penetapan hukum yang disebutkan dalam dalil, yaitu if`al (kerjakan) dan laa taf`al (jangan dilakukan).
Pertama, adanya larangan mendiamkan harta, atau melakukan tindakan yang berpotensi bagi ‘diamnya’ harta (laa taf`al). Misalnya, praktik _jama`a maalan wa `addadah_ (mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya), al takatsur (menumpuk harta), al kanzu (menimbun harta).
Sebagai contoh, surat Al Taubah 34 yang melarang ‘al kanz’ menyebutkan, “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak (harta) dan tidak membelanjakannya di jalan Allah beritakan kepadanya adzab Allah yang pedih”.
Kalimat wa laa yunfiqunaha oleh sebagian fuqaha diartikan dengan laa yastatsmiruunaha (tidak menginvestasikannya) pada sektor-sektor yang memberi manfaat bagi masyarakat (Qardlawi, Musykilat Kanzi al Nuqud, Majallah al Iqtishad al Islamy, vol. 68, 1407).
Bisa kebayang kan? kalau di masa pandemi seperti ini semua orang yang punya uang menukar kekayaannya untuk beli emas, yang ujungnua hanya disimpan/ditahan saja. Apa yang terjadi? tidak terjadi perputaran ekonomi. Ekonomi mandeg, karena orang yg punya banyak uang lebih suka beli emas daripada inveatasi ke sektor riil yang bisa menggerakkan ekonomi ummat lebih besar lagi. Jadi jangan kaget kalau diambang resesi.
0 Komentar
Post a Comment