-->

Meyakini Sifat Wajib, Mustahil Dan Jaiz Pada Rasul


 
Salah satu pilar utama keimanan dalam Islam adalah meyakini adanya sifat wajib, mustahil dan jaiz pada diri seorang Rasul. Dalam ranah i’tiqady, hukum ‘wajib’, ‘mustahil’dan ‘jaiz’ (harus) mempunyai pengertian tersendiri yang lain dari lain. Karena ketiga hukum di atas adalah lebih bersifat untuk meyakinkan para mukallaf, maka yang bisa mendesak agar para mukallaf tidak bisa menghindari dari meyakini tentang yang wajib, mustahil dan harus pada Rasul adalah ‘akal’ mereka sendiri. Sementara ‘akal’ menghukum hanya dalam dua kata: ‘boleh’ atau ‘tidak’(boleh). ‘Boleh’ (ada atau tidak) disebut ‘jaiz’ (harus):
الجائز هوما يصح في العقل وجوده وعدمه
“Perkara-perkara yang secara akal boleh ada dan boleh tidak.”
Sedangkan ‘tidak’ (boleh tidak ada) dinamakan dengan ‘wajib’:
الواجب هو : ما لا يتصور في العقل عدمه
“Wajib adalah perkara-perkara yang secara akal tidak mungkin tidak ada.”
Dan‘tidak’ (boleh ada) diistilahkan dengan ‘mustahil’:
المستحيل هوما لا يتصور في العقل وجوده
Mustahil adalah perkara-perkara yang secara akal tidak mungkin ada.”

Tidak ada hukum keempat yang dapat diproduksi oleh akal manusia, karena itu berarti keluar dari rumus: ‘boleh atau tidak’. Sedangkan akal hanya berkisar antara keduanya.

Rasul dalam kontek keimanan, didefinisikan dengan:
هو انسان ذكر حر بعثه الله تعالي للخلق ليبلغهم ما اوحي اليه
Rasul adalah seorang laki-laki merdeka yang diutus oleh Allah swt kepada makhluk untuk menyampaikan wahyuNya kepada mereka.

Rasul sebagai manusia pilihan Allah swt sudah barang tentu memiliki kelayakan untuk menempati posisi sangat terhormat tersebut. Dan, yang mengirimkannyapun tidak akan sembarang memilih dan main comot tanpa perhitungan, agar tujuan dia diutus bisa mencapai sasaran yang diharapkan. Suatu keharusan bagi sipengutus menetapkan criteria tertentu yang membuat pilihannya benar-benar tepat. Semua criteria yang dimaksud telah tercakup dalam definisi di atas.
 
Pertama, persyaratan seorang rasul adalah berjenis manusia (orang), yang dengan ini maka tidak pernah Allah swt mengirim utusanNya dari golongan Jin atau Malaikat untuk menyampaikan wahyuNya kepada makhluk. Dan, kekhususan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan bagi golongan manusia.
 
Kedua, seorang laki-laki. Jenis makhluk yang satu ini mendapat kepercayaan dari Allah swt untuk mengemban ‘risalah’, karena, baik fisik maupun mental, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jenis-jenis yang lain. Karena, seperti dimaklumi, tugas seorang Rasul begitu berat sekali dan mendapat tantangan paling dahsyat dan teror dari manusia-manusia bejat pada zamannya. Menghadapi semua ini sangat dibutuhkan mental baja dan ketahanan fisik yang prima, yang umumnya hanya di dapat pada diri seorang laki-laki sejati.
 
Ketiga, merdeka dari perbudakan. Seorang budak, disamping membelenggu kebebasan menjalankan tugas-tugas kerasulan karena lebih terikat secara horizontal kepada yang memperbudakkannya daripada terikat kepada Allah swt secara vertical, juga perbudakan merupakan kasta manusia yang paling rendah yang tidak layak ada pada seorang duta Allah swt, sebagaimana yang akan kita bentangkan lebih luas lagi pada pembahasan sifat jaiz pada Rasul ke depan nantinya, insyaallah.
 
Keempat, menyampaikan wahyu kepada makhluk. Poin ini secara lahiriyyah bukanlah suatu keharusan secara mutlak mesti terpenuhi, tetapi lebih kepada untuk membedakan antara Rasul dan Nabi. Karena Nabi memang tidak diperintahkan meneruskan wahyu kepada makhluk, seperti juga Rasul tidak selamanya setiap wahyu wajib didistribusikan kepada makhluk. Tetapi secara tersirat kalimat: ‘menyampaikan wahyu kepada makhluk’ mengharuskan beberapa sifat lain yang menjadi landasan tercapainya maksud tersebut. Yaitu, seorang Rasul Allah swt wajib diyakini punya sifat Shidiq (benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan) danFathanah (cerdas).

1.        Pengertian Shidiq
الصدق هو مطابقة الخبر للواقع
Benar adalah kesesuaian berita dengan hakikat kejadiannya.

Bersikap benar dalam hal ini lebih dititikberatkan kepada pengakuannya sebagai utusan dari sang Pemilik alam raya ini dan penisbatan perkataannya sebagai wahyu Tuhan. Karena konteknya lebih mengarah kepada dua hal tersebut itu. Ketika dia mengatakan, bahwa saya ini utusan dari ‘rabbul ‘alamin, itu memang benar-benar berasal dari suatu kenyataan yang sesungguhnya, yaitu informasi dari Allah swt. Demikian juga saat dia menyifatkan kalamnya adalah wahyu, itu pula memang berangkat dari kalam kiriman yang Maha Kuasa. Keakuratan berita yang disampaikannya dengan kenyataan sebenarnya merupakan suatu kewajiban bagi seorang Rasul dan kewajiban meyakini adanya kebenaran tersebut bagi kita selaku umatnya. Artinya, kewajiban di pihak Rasul dengan makna ‘tidak ada satu logika sehatpun yang sanggup menafikan akan adanya sikap kebenaran pada diri seorang Rasul’ dan kewajiban di pihak kita dengan pengertian  ‘berdosa kita kalau tidak mengakui dan meyakini kebenaran sang Rasulullah saw’. Ini adalah salah satu dari konsekwensi masuknya kita dalam Islam.
 
Konsekwensi ini, yaitu wajib meyakini kebenaran Rasul, bukan karena Islam memaksakan kehendaknya kepada kita sebagai umatnya, tetapi karena didukung dan didesak oleh akal sehat kita sendiri. Dimana kalau kita berpikir dari sudut pandangan Zat Yang Mengutus, kita akan menemukan hakikat kebenaran, bahwa tidak mungkin seseorang dalam kapasitasnya sebagai pengirim seorang utusan mengirim sembarang orang untuk mewakilinya dalam suatu acara tertentu, apalagi orangnya sangat jauh dari sikap objektif dalam penyampaian wahyu Tuhan. Kepastian Tuhan memilih seseorang Rasul yang jiwanya ‘bermalkah’ dengan kebenaran adalah persoalan yang tidak perlu diragukan sedikitpun dan sangat-sangat mustahil terjadi kebalikannya. Dimana saja di setiap jengkal sudut bumi ini, tidak akan ditemukan seseorangpun yang berlogika rusak seperti berikut ini: ‘ingin mewakilkan untuk menangani suatu programnya kepada orang yang sangat berpotensi tidak akan menyukseskannya’.
 
Disamping dengan logika di atas, Rasul juga membawa sesuatu yang sangat istimewa untuk menopang kebenaran pengakuan kerasulannya, yaitu mukjizat. Mukjizat yang secara harfiyyah berarti ‘melemahkan’ pihak-pihak lain, yang secara istilah bermakna:
       امر خارق للعادة مقرون بالتحدي مع عدم المعارضة
 ‘Muncul suatu perkara yang merobek (menyalahi) adat-istiadat pada saat menyatakan dirinya sebagai Rasul dan tidak ada yang sanggup melawannya’.

Sebagai bagian dari komunitas manusia, seorang Rasul mustahil memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya kecuali karena ada kekuatan Yang Maha Kuasa meng’support’ di belakangnya. Kekuatan luar biasa ini diberikan Allah swt kepadanya untuk membenarkan pengakuan sang Rasul, bahwa dia benar-benar utusan Allah swt. Seandainya dalam perbendaharaan ilmu-Nya terdeteksi kebohongan pengakuan kerasulan dari seseorang, lalu dikirim pembenaran dengan suatu mukjizat, itu juga adalah kebohongan yang nyata. Karena membenarkan kebohongan adalah kebohongan. Menuduh Allah swt berbohong itu merupakan kemusyrikan. Karena , disamping Allah swt tidak mendapat keuntungan dari kebohongannya, juga berarti menyifatkan-Nya dengan sifat kekurangan. Padahal pada zat yang telah ‘tsabit’ ketuhanan dengan ‘haqqul yaqin’ mustahil diiringi dengan kekurangan-kekurangan.
 
Sebuah mukjizat yang diturunkan Allah swt kepada seorang Rasul, apalagi mukjizat bersifat abadi sepanjang masa semisal kitab suci Al-Quran, menempati posisi sebagai firman-Nya yang berikut ini:
صدق عبدي في كل ما يبلغ عني
‘Benarlah hambaKu tentang seluruh apa yang disampaikannya dari-Ku’.

Karena mukjizat yang datang seolah memberi sebuah pernyataan dan pengakuan, bahwa orang ini benar sebagai Rasul. Karena, yang disebut dengan nama mukjizat, ia mesti berasal dari Yang Maha Perkasa. Mustahil seorang insan secara pribadi punya kesanggupan membangun sebuah peristiwa dahsyat sebesar mukjizat, apalagi ditambah dengan ketidakberdayaan manusia di hadapan mukjizat. Semuanya ini menyampaikan suatu pesan dalam batin kita, sesungguhnya para Rasul adalah benar dalam setiap penyampaian mereka. Disinilah letak perbedaannya dengan sihir, dimana sihir walau mempunyai sifat mencabik-cabik tradsi manusia, tetapi ada kekuatan super power lain yang bisa menunduk dan mengalahkannya.
 
Pernah Musailamah Al-Kadzdzab mencoba mencari keberuntungan lewat pengakuan dan memproklamir mengangkat dirinya sebagai Rasul pada saat dan sesudah wafat Rasulullah saw. Tetapi, akhirnya, ‘mimpinya’ itu mentah dan jadi bahan olokan saja oleh setiap orang pada zamannya. Itu dikarenakan ikrar kerasulannya tidak ditopang oleh suatu peristiwa luar biasa yang berasal dari sang Maha Pencipta. Pada suatu saat dia juga pernah berusaha menipu orang-orang awam pengikutnya dengan ‘merakit’ apa yang disebutnya sebagai firman yang mirip dan untuk menandingi Surah Al-Kautsar yang belum lama diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Inipun bernasib sama seperti pengakuan kerasulannya, hambar dan hilang ditelan tertawa olok-olokan khas padang pasir. Hal ini semakin menguatkan dan meyakinkan, bahwa Al- Quran dalam kapasitasnya sebagai mukjizat untuk membenarkan Muhammad, memang tidak bisa ditandingi oleh siapapun, karena dia bukan produk manusia, tetapi firman Allah swt yang datang sebagai bukti bisu kerasulan Muhammad swt.    

2.        Pengertian Amanah
Secara literal ‘amanah’ berarti ‘dapat dipercaya’. Dalam kontek sifat Rasul, amanah bermakna ‘menjaga dirinya dari terjerembab dalam lembah hitam  perbuatan makruh dan haram, baik yang berakibat kepada dosa besar ataupun kecil’. Sebaliknya, mustahil seorang Rasul mengkhianati Allah swt dengan berkecimpung dalam dosa-dosa dan pekerjaan makruh. Logikanya, Allah swt menyuruh kita mengikuti jejak-jejak para Rasul dalam seluruh sisi kehidupan mereka, berbentuk qauliy atau bukan. Kalau mereka menjalani kehidupan jauh dari tuntunan Allah swt, secara otomatis kitapun mengekor persis di belakang mereka sebagai konsekwensi dari perintah Allah swt pula. Saat itu terjadi, maka seluruh hakikat jadi amburadul, haram dan makruh menjadi wajib dan wajib serta sunat bertukar menjadi haram. Peristiwa pembelokan hakikat seperti ini mustahil tidak diketahui oleh Allah swt sebagai pemilik hakikat itu sendiri. Ketika akibat dari suatu peristiwa sudah terhukum mustahil, maka peristiwa itupun menjadi tidak logis pula. Dan, akhirnya, ditetapkanlah amanah dalam diri seorang Rasul merupakan kewajiban secara rasio yang sehat. Allah swt berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS;Ali Imram:31)

Dalam ayat lain Allah swt juga berfirman:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, (QS;Al-A’raf:157).

 Dua ayat di atas secara sharih menganjurkan mengikuti Rasul dengan berbagai imbalan yang dijanjikan Allah swt. Para sahabat Nabi saw, orang yang paling dekat dan lebih tahu tentang seuntai wahyu, mengikuti beliau dalam segala hal tanpa mencoba mempersoalkan dan menggugat darimana sumbernya, valid atau tidak. Sampai-sampai ketika Nabi saw menanggalkan sandal, mereka ramai-ramai ikut melepaskannya pula. Ketika beliau membuka cincinnya, mereka ikut-ikutan melakukan hal sama juga. Pernah Abu Bakar ra, Umar ra dan Utsman ra menyingkap kain sebatas lutut hingga terlihat betis sesampainya mereka dan duduk di atas sumur yang bernama ‘Aris’ dekat kota Medinah, hanya karena Nabi saw pernah melakukannya. Kita saksikan perkataan Umar ra yang menggambarkan bagaimana meneladani Rasul saw tentang Hajar Aswad tanpa mengkritisinya sedikitpun:   
إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم قبلك ما قبلتك ثم قبله
‘Aku tahu, sesungguhnya kamu (Hajar Aswad) hanya sebongkah batu yang tidak sanggup memberi mudharat dan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw mengecupmu, maka akupun tidak melakukannya juga’. Kemudian beliau mengecupnya.

Kepercayaan yang begitu besar diberikan para sahabat kepada Nabi saw adalah indikasi sangat kuat mengarah kepada kewajiban mempercayai beliau dalam segala hal. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan langsung prosesi wahyu dibawakan dari langit diserahkan kepada Rasul. Kalau saja ada sesuatu yang mencurigakan berlangsung dihadapan mereka, penipuan dari Nabi saw misalnya atau telah terjadi ketidakberesan, mereka tidak segan-segan menggugat dan mengkritik. Tetapi, ternyata mereka tidak melakukannya, itu berarti membuktikan tidak ada gejala dusta apapun. Seumpama Abu Hurairah ra yang selalu mendapat sanjungan dari Nabi saw: ‘aku sudah menduga kamu akan menanyakan ini’, kata-kata ini menunjukkan beliau seorang yang haus akan ilmu sekaligus menaruh kepercayaan sangat tinggi kepada Rasul saw dalam setiap persoalan, apalagi dalam hal-hal ghaib. Ini semua membuktikan akan satu hal: Rasul wajib dan layak mendapat kepercayaan lebih dari siapapun juga.

3.        Pengertian Tabligh
Secara bahasa (etimology) ‘tabligh’ bermakna ‘meneruskan’ atau ‘menyampaikan’. Sedangkan secara terminology (istilah):
التبليغ هو تبليغ ما امروا بتبليغه للخلق
‘Tabligh adalah meneruskan apapun yang diperintahkan menyampaikan kepada makhluk (umat)’.

Wahyu yang dikirim oleh Allah kadang-kadang bersifat personality (pribadi), hanya untuk konsumsi sang pribadi Rasul. Terkadang, ini paling banyak, wahyu bersifat umum untuk konsumsi publik sebagai syariat untuk umat manusia.  Pada bagian ini, informasi yang telah diterima mustahi bagi Rasul untuk tidak mentransferkannya kepada umat. Karena, kecuali para Rasul tidak menganjurkan kepada kita (umat) untuk bersikap menyembunyikan ilmu (informasi) dari Allah swt, juga ‘peukateun’ mereka mustahil tidak terdeteksi dalam luasnya lautan ilmu Allah swt. Pengaruh dari kalau Rasul mengkhianati Allah swt, kalau memang ini ada, adalah Rasul selalu lebih mengutamakan berkhianat daripada menyampaikan ilmu kepada orang lain. Namun, ternyata sepanjang usia Islam tidak didapati nash yang memerintahkan berkhianat dan menyembunyikan ilmu. Malah sebaliknya, ditemukan nash mengecam dan mengancam pelaku-pelaku penyembunyi ilmu Allah swt:
مَنْ كَتَمَ عِلْماً ، أَلْجَمَهُ الله تَعَالَى يَوْمَ القِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
‘Barang siapa menyembunyikan suatu ilmu, maka Allah swt akan merantai dia dengan rantai dari api neraka pada hari kiamat kelak’. HR. Ibnu Majah.

Logikanya, kalau sudah keluar sebuah ancaman bagi penyembunyi ilmu Allah swt dari mulut seseorang mustahil dia berkelakuan yang masuk dalam kategori ancaman itu sendiri. Lagi pula, kalau seorang Rasul mengambil sikap menutup berbagai berita dari Allah swt, tentu saja kita tidak menemukan aneka macam bentuk syariat yang kita laksanakan pada hari ini. Tetapi, ternyata hari ini kita saksikan bersama-sama kehidupan kita yang selalu diwarnai oleh syariat dalam seluruh sisi kehidupan kita. Kenyataan seperti ini mustahil bisa kita dapatkan seandainya Rasul tidak meneruskan kepada kita apa yang diambilnya dari ‘Shahibusy Syariah’. Dan, kenyataan ini pula mengantarkan dan meyakinkan kita, bahwa para Rasul telah benar-benar bersikap objektif-realistis.
 
Banyak kita dapatkan dalam ‘furu’-furu’ syariat berbagai kewajiban, yang secara naluriahnya manusia sangat memberatkan sekali, semisal jihad fi sabilillah, menunaikan zakat, mengunjungi Baitullah dan berbagai aturan lain yang sangat memberatkan jiwa manusia, termasuk jiwa Rasul di dalamnya. Nah, semua itu seharusnya ditutup-tutupi oleh Rasul, agar tidak membebani jiwanya juga. Tetapi, ketika beliau meneruskannya dan terlibat langsung dalamnya, itu hanya mengarah kepada satu hal: beliau harus menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Kalau bukan karena iman sangat tidak mungkin semua hal yang memberatkan jiwa kita niscaya tidak akan terlaksana dengan sempurna.
 
Disamping argument-argumen di atas, kita juga mesti meneliti dan mengoreksi aspek keuntungan di balik kemungkinan tidak diteruskannya furu’-furu’ syariat kepada umat. Secara klasik, materilah andalan yang sanggup merubah manusia menjadi jahat dan membuat manusia berkelakuan jelek seperti berbohong dan menyembunyikan apa tidak menguntungkan dirinya dalam hal material. Kenyataan sejarah tidak mendukung asumsi ini, malah sebaliknya. Kehidupan para Rasul umumnya tidak jauh dari yang namanya kemiskinan, berkutat dengan penderitaan ketidakberkecukupan dalam kehidupan mereka. Seperti Nabi Muhammad saw, beliau tidak pernah bisa mengenyangkan perutnya selama tiga hari berturut-turut selama kehidupan beliau di Madinah, karena tidak tersedia makanan di rumahtangga beliau.
 
Mungkin argument ini bisa dipatahkan dengan mengatakan: realitas beliau memang miskin, karena tidak terpenuhinya misi yang beliau canangkan, yaitu tidak berjalan sesuai target beliau. Padahal beliau telah menargetkan keuntungan material yang banyak sekali. ‘Buruk sangka’ ini masih bisa dibenarkan, mengingat misi tidak selamanya menjadi realitas yang diharapkan. Tetapi bila ini kita benarkan, kita telah melupakan sabda beliau berikut ini:
إن الصدقة لا تحل لمحمد ولا لآل محمد، إنما هي أوساخ الناس
‘sesungguhnya sedekah tidak halal bagi Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya sedekah itu hanya kotoran (daki) manusia. HR.Muslem.

Pemasukan material yang mengagumkan dalam furu’ syariat adalah melalui sedekah, wajib dan sunat. Tetapi ketetapan telah dikeluarkan, bahwa Muhammad dan keluarga besarnya haram menerima sedekah dalam bentuk apapun juga. Mari kita berandai-andai. Seandainya beliau memang menyembunyikan titah Allah swt, semestinya sector sedekah yang lebih menjanjikan material untuk tidak disampaikan kepada umat, agar beliau tidak terhalang untuk menerimanya. Hidup dalam kemiskinan dan haram mengambil sedekah adalah dua hal yang kontraproduktif. Di satu sisi sangat membutuhkan, di sisi yang lain menghempang datangnya rezeki. Analisis ini dengan sangat meyakin kita, bahwa kita memang wajib mengimani para Rasul telah menyampaikan seluruh wahyu yang diperintah-sampaikan kepada makhluk.

4.        Pengertian Fathanah
Harfiyyah fathanah bermakna ‘cerdik’ atau ‘pemikiran brilian’. Adapun dalam wilayah keyakinan berkenaan dengan sifat Rasul yang wajib diimani oleh setiap mukallaf berarti:
اي الذكاء و الحذق بحيث يكون فيهم قدرة علي الزام الخصوم محاججتهم وابطال دواعيهم
‘kecerdikan dan kejeniusan, yang mana mereka mampu memaksakan dan mengokohkan hujjah-hujjah serta sanggup mematahkan alasan lawan-lawan mereka’.

Umumnya kehadiran seorang Rasul mendapat tantangan yang dahsyat dari komunitas masyarakat yang ingin diperbaiki akhlaknya. Tantangan yang dimaksud boleh jadi berbentuk teror fisik ataupun mental. Semua kisah Rasul selalu diawali dan diwarnai dengan penolakan umat bersangkutan, walaupun akhirnya terkadang ditutup dengan keberhasilan. Teror fisik berupa penganiayaan terhadap diri dan keluarga Rasul. Sementara teror mental adalah berbentuk ancaman terhadap keselamatan jiwa mereka. Ada juga berbentuk perdebatan terhadap keabsahan apa yang dibawanya. Biasanya model ini datang dari para intelektual umat mereka. Menggugat dengan hujjah-hujjah tandingan hendak membabat dan, kalau mungkin, membatal sama sekali misi sang Rasul. Hal ini banyak dipraktekkan oleh Yahudi dan Nasrani untuk menghambat laju Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Mereka mengunjungi Nabi saw dengan mengutip ayat-ayat Taurat dan Injil. Sangkaan mereka, Muhammad saw akan terkalahkan, karena mereka tahu beliau seorang ‘ummiy’ (buta aksara) yang tidak pernah melihat, apalagi membaca, dua kitab tersebut.
 
Allah SWT Maha Tahu Segalanya, kemana Muhammad akan diutus, siapa saja umat yang akan dihadapi beliau. Karena itu, mustahil Allah swt tidak membekali para Rasul-Nya dengan‘malkah’ kecerdikan. Karena, kecuali untuk mematahkan hujjah-hujjah lawan dan meneguhkan‘burhan-burhan’ sendiri, juga dibutuhkan kebijakan dalam penyampaian wahyu Allah SWT. Kondisional dan situasional juga berperan menyukseskan sebuah misi. Ilmu seperti ini hanya mungkin ada pada akal-pikiran yang brilian. Contoh yang paling santer kita dengar, kejeniusan Muhammad saw terkait peletakan kembali Hajar Aswad pada tempatnya setelah disapu air bah. Nyaris darah memerahkan lembah Makkah kala itu kalau kebijakan beliau tidak segara memecahkan masalah. Hanya dengan selembar kain yang diletakkan Hajar Aswad di atasnya lalu diboyong bersama-sama, telah terhindari menetesnya darah manusia. Hanya kebijakan kecil untuk menghindari persoalan yang besar. Sulit membayangkan buah pikiran jenius ini terbit dari orang yang idiot atau bodoh.
 
Kejeniusan para Rasul juga terilustrasikan dari ucapan-ucapan mereka yang tidak hanya mengakomodir persoalan pada masanya, tetapi juga menjangkau jauh ke masa depan. Kita sering mendapatkan sabda mereka bernada: ‘akan datang suatu masa kepada umatku’ atau‘akan terjadi begini’ atau ‘akan tertimpa kepada umatku’. Nada sabda begini, menunjukkan hanya satu hal: kecerdikan memprediksi persoalan. Karena semua prediksi ini akhirnya menjadi kenyataan. Adakah kejeniusan di atas kejeniusan ini? Dalam alam modern sekarang ini, manusia mencoba mengetahui perkara-perkara akan datang. Tetapi tidak seorangpun mengatakannya dengan kata pasti. Paling-paling hanya mengungkap ‘ramalan cuaca’ atau ‘menurut prakiraan cuaca’ dan lain-lain yang senada. Semua ini secara tersirat manusia ingin mengatakan: ‘kami tidak tahu’. Karena kelemahan manusia, selain Rasul tentunya, pada membaca dan menerjemahkan tanda-tanda alam. Beda dengan Rasul, kecerdasan mereka merupakan suatu kewajiban dan kewajiban pula bagi kita untuk meyakininya. Karena akal kita sendiri yang mendorong dan memang tidak jalan lain selain terdesak meyakininya. Mengabaikan desakan hati sendiri berarti memungkiri kenyataan yang paling hakiki. Dan, itu abnormal sekali.

5.        Pengertian Jaiz (Harus)
Jaiz pada lughawiy berarti ‘boleh’. Dalam istilah Mutakallimin, seperti tersebut di atas pada awal pembahasan, didefinisikan dengan:
ما يصح في العقل وجوده وعدمه
‘perkara-perkara yang secara akal boleh ada dan boleh tidak’.
Dalam kaitannya dengan Rasul, sifat jaiz bukanlah patokan sah-tidaknya seseorang menjadi Rasul, sehingga ia menjadi sifat wajib atau mustahil bagi mereka. Tetapi lebih kepada pertimbangan mereka sebagai ‘manusia’ dan ‘utusan Allah swt’. Dalam kapasitasnya sebagai manusia, mereka layak memiliki sifat-sifat yang biasa disandang manusia lainnya. Dan dalam predikat mereka sebagai utusan Allah swt, mereka hanya boleh menyifati sifat-sifat yang tidak menghambat dan membabat arti perutusan mereka. Dua sudut pandang ini, manusia dan utusan Allah swt, saling mengkompromi dan akhirnya terkonsentrasi pada kalimat berikut:   
يجوز في حقهم الأعراض البشرية التي لا تؤدي إلى نقص في مراتبهم العلية
‘Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, mereka boleh mempunyai sifat-sifat kemanusiaan yang tidak mengakibatkan runtuhnya ketinggian mertabat mereka’.

Sudut ‘kemanusiaan’ mereka, menuntut layak adanya berbagai kebiasaan manusia melengket pada diri mereka, seperti makan, minum, kawin, bersenda-gurau, tertawa, menangis, miskin, kaya, sakit, sehat dan lain-lain sebagainya. Sedangkan sisi ‘utusan Allah swt’, meminta tidak semua sifat-sifat manusia layak disifati mereka, seperti buta, tuli, gila, epilepsy, lepra dan lain-lain seumpamanya. Karena, kalau salah satu dari sifat-sifat ini ada pada mereka, dapat dipastikan fungsi kerasulan mereka akan tidak berarti sama sekali. Antara gila, misalnya, dengan kerasulan adalah dua hal yang saling bermusuhan dan tidak mungkin berkumpul pada satu tubuh seperti kegelapan dan cahaya. Pada saat gila merajalela, dia akan mengusir sifat kerasulannya. Demikian sebaliknya, kalau prediket kerasulan berkuasa dia juga akan menghambat masuk sifat kegilaan. Artinya, seluruh sifat kemanusiaan layak disandang oleh para Rasul, tetapi kemudian sifat ‘kerasulan’ yang dianugrahi Allah swt kepada mereka membatasinya, hanya sifat-sifat kemanusiaan yang cocok dan tidak berpotensi merusak dengan kerasulan mereka saja.
 
Tersebut dalam beberapa buku tentang kisah Nabi Ayyub as yang dijauhi dan dihindari oleh umatnya, karena beliau menderita suatu penyakit. Katakanlah cerita ini benar adanya, lalu mungkinkah dalam keadaan berpenyakit yang membuat umatnya  lari seperti itu beliau menjalankan fungsinya sebagai Rasul? Bukankah beliau diutus untuk memperbaiki akhlak mereka? Bagaimana mungkin mendakwahkan mereka kepada jalan yang benar sementara mereka lari tunggang-langgang? Harus diakui, bahwa setiap Rasul memang dimusuhi dan dijauhi. Tetapi aib pemicunya bukan di pihak beliau, namun lebih karena ‘ke’inadan’ dan keingkaran di pihak umatnya. 
        
Sosok Rasul memang unik, ‘manusia’ sekaligus ‘utusan Allah swt’. Dua sifat yang melekat pada diri mereka ini tidak saling menafikan, apalagi hendak dikatakan mustahil terjadi. Kedua-duanya wajib diseimbangkan ketika mencoba memahami sosok mereka. Manusia yang utusan Allah swt atau utusan Allah swt yang berjenis manusia. Berpadunya dua sifat tersebut, menjadikan mereka sebagai figure yang istimewa di kalangan makhluk. Manusia yang mempunyai mertabat lebih tinggi dari makhluk yang lainnya, tetapi ‘keistimewaan’ dan ‘kelebihan’ yang mereka miliki tidak lantas meninggalkan sifat-sifat ‘kemanusiaan’ mereka sehingga derajat mereka meroket tinggi setara dengan Allah swt. Dan, tidak juga dengan sifat ‘kemanusiaannya’ mereka meluncur bebas sehingga berada pada serendah-rendah kasta mertabat manusia. Mereka menempati posisi‘tawassuth’ (perantara) antara manusia dan Allah swt. Dengan sifat kemanusiaannya menghadapi dan membenahi manusia. Dan, dengan sifat keagungan akhlaknya berhubungan dengan Allah swt. Jadi, mereka bukan seperti manusia kebanyakan, seperti dakwaan Yahudi kepada Rasul mereka. Bukan juga terbang ke level sangat tinggi setara dengan Allah swt, seperti tuduhan Nasrani kepada Nabi Isa, subhanallah
 
Adapun benar-tidaknya para Rasul telah bertabiat seperti tabiat manusia lainnya, itu telah dibuktikan dan disaksikan oleh para sahabat secara langsung. Hasilnya penyaksian mereka telah dipindahkan ke generasi selanjutnya hingga kepada kita pada hari ini. Ada yang bercorak‘tawatur’ ada juga secara ‘ahad’. Katakanlah nukilan berita melalui teori ‘ahad’ tidak sampai kepada mengharuskan ‘i’tiqady, tapi hanya mewajibkan amal, namun melalui teori ‘tawatur’ masih banyak yang mengabarkan tentang Nabi Muhammad saw melakoni kehidupan penuh dengan sifat-sifat kemanusiaannya. Termasuk juga ayat-ayat kitab suci Al-Quran yang mengatur mengenai pakaian istri-istri beliau, salah satu dari sisi kemanusiaannya. Dan masih banyak lagi kesaksian-kesaksian Al-Quran dalam hal ini, seperti yang sudah kita maklumi.
 
Sebenarnya para Rasul memiliki sifat-sifat manusia merupakan salah satu sarana penunjang kerasulan mereka, disamping hikmah-hikmah lain yang justru menguatkan kebolehan mereka memiliki sifat-sifat tersebut. Para ulama telah membahas seputaran masalah hikmah ini panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Sebagai sampel, kita ambil redaksi kitab ‘Matan Sanusi’. Minimalnya ada empat hikmah dibalik diriasnya para Rasul dengan dandanan kemanusiaan:

a.         Ta’dlimul Ujur (Menambah Pahala)
Sekalipun para Rasul telah dikaruniai posisi sangat tinggi, namun mereka masih juga masuk dalam kategori ‘mukallaf’, seorang hamba yang menjadikan kehidupan ini sebagai ajang pengumpulan pahala sebanyak-banyaknya, agar kehidupan negeri akhirat menjadi lebih baik. Salah satu dari cara mencapai tujuan agung ini adalah dengan  bersabar kalau mengalami suatu penyakit. Makan-minum, kawin yang diniatkan ibadah, menahan diri dari segala godaan nafsu. Semuanya ini hanya mungkin diraih apabila pada diri mereka ditempati oleh sifat-sifat yang lazim ada pada manusia. Kalau satu tubuh kebal terhadap suatu penyakit, seperti zat Malaikat, mustahil mengalami sakit. Dan, sudah barang tentu lewat kesempatan untuk menggapai pahala dengan bersabar terhadap penyakit. Seandainya para Rasul tidak ditanam nafsu dalam tubuhnya, niscaya tidak mungkin mereka kawin dan makan-minum, misalnya. Itu suatu kepastian juga mereka tidak punya kans mendapatkan pahala besar dalam hal tersebut.
Atas analisa di atas, apakah Allah swt tidak mungkin memberi pahala kepada mereka tanpa melalui sifat-sifat kemanusiaan? Toh, mereka orang terdekat Allah swt, konon lagi mereka sebagai RasulNya. Allah swt Maha Kuasa, kuasa memberi apapun tanpa melalui apapun juga. Juga kuasa mengaitkan penganugerahan pahala-Nya dengan apapun juga, termasuk menyodorkan pahala melalui kesabaran. Karena itulah keluar sebutir sabda dari mulut yang mulia berikut ini:
أشدكم بلاء الأنبياء ثم الأولياء ثم الأمثل فالأمثل
‘Cobaan yang paling berat adalah kepada para Nabi, kemudian kepada para Aulia, selanjutnya kepada tokoh agama, maka tokoh sesudahnya.

b.        Tasyri’ (Pensyariatan)
Seperti telah dimaklumi, para Rasul diutus untuk menjelaskan hukum-hukum Allah swt kepada umat manusia. Untuk tugas mulia ini, para Rasul dapat menempuh beberapa metode ‘tasyri’(pensyariatan), baik menyampaikan melalui lisan langsung atau dengan mempraktekkan bentuk-bentuk syariat dipertontonkan kepada mereka. Kondisi dan situasi menuntut metode pengajaran dan penyampaian ikut bervariasi pula. Seorang pengajar akan mengamati lapangan, lalu memutuskan metode apa yang lebih cocok dan mengena dengan sempurna kepada sasaran. Tidak selamanya metode lisan lebih efektif dari metode praktek. Demikian sebaliknya. Tingkat kecerdasan umat sebagai objek pengajaran juga alternative lain yang menuntut metode mesti dipilih-pilih. Ketika menyaksikan Rasul melangsungkan pernikahan, misalnya, umat dengan mudah bisa memahami syariat tentang perkawinan. Saat Rasul dilanda oleh suatu penyakit, umat menjadi tahu bagaimana tatacara shalat orang sakit. Demikian juga ketika Rasul tiba-tiba lupa dalam shalat, umat jadi mengerti solusi yang seharusnya dilakukan. Dan seterusnya.

c.         ‘Tasally ‘Anid-Dunya’(Menahan Diri Dari Dunia)
Ketika menela’ah kehidupan para Rasul yang penuh dengan kekurangan material dalam seluruh waktu kehidupan mereka, yang notabenenya seorang kekasih Allah swt, umat akhirnya sampai kepada kesimpulan, bahwa meraih kehidupan dunia benar-benar suatu keaiban yang mesti dijauhkan, dan Allah swt tidak menyukai itu. Suatu pelajaran sangat berharga bagi umat, kalau kehidupan di negeri duniawi ini diridhai Allah swt tentu kehidupan para kekasihNya akan lebih berjaya dari siapapun juga. Nyatanya dan kasat matanya, kondisi kehidupan para Rasul sangat jauh dari berkecukupan, untuk tidak mengatakan tidak berpunya sama sekali. Dalam kondisi morat-marit seperti ini, mereka masih menatap hidup dengan kebahagian dan optimis yang tinggi. Tidak larut dan sibuk dalam pemenuhan kebutuhan mereka semata-mata. Mereka tidak mengeluh atas kekurangan-kekurangan yang menerjang mereka. Tugas kerasulan mereka tidak terbengkalai hanya gara-gara kemiskinan. Inilah ‘mau’idlah’ sangat berharga bagi umat mereka, sehingga bila umat mampu bergembira atas kemiskinan dan kealpaan dunia mereka, mereka sudah dinobatkan setara dengan Rasul. 

d.        Tambih Li Khissatiha (Peringatan Atas Hinanya Dunia)
Penempatan sifat-sifat kemanusiaan kepada Rasul adalah juga agar Allah swt dapat menjadikan peringatan dari bagi umat manusia, bahwa dunia tidak seharusnya dianggap sebagai ‘bidadari’ yang mesti dikejar kemana-mana, karena memang tidak ada nilainya disisiNya. Logikanya, para Rasul adalah makhluk paling elit dalam pandangan Allah swt, tapi ternyata tidak diikuti oleh pernik-pernik kehidupan yang layak se-elit derajat mereka. Artinya, untuk makhluk terbaik tidak dipersembahkan dengan fasilitas terbaik di dunia ini dari Allah swt. Ini menunjukkan, bahwa Allah swt akan menghargai keagungan mertabat mereka dengan sesuatu yang lebih cocok, dan itu adanya di akhirat kelak, bukan di dunia yang serba kekurangan ini. Ini pulalah yang dilukiskan oleh Rasul dalam sabda berikut ini:
الدنيا جيفة وطالبها كلاب الا ترى كيف احب ما ابغضه الله وأي خطيئه اشد جرما من هذا
‘Dunia itu bangkai, dan para pencarinya anjing. Adakah tidak kamu lihat, bagaimana dia menyukai perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah swt? Adakah kesalahan yang sangat besar dosanya dibandingkan daripada ini? (kitab Mishbah Syari’ah).

Ungkapan ini adalah penggambaran hakikat sebenarnya dari dunia ini. Keindahannya semu, orang yang menguber-ngubernyapun keliru. Hakikat sesuatu lebih diketahui oleh Allah swt dan para RasulNya. Seandainya Rasul tidak dibekali dengan sifat-sifat kemanusiaannya, maka mustahil mereka bisa merasakan dan menilai apa sebenarnya dunia ini. Dan umatpun tidak mungkin meneladani mereka dalam hal dunawi. Padahal, kadang-kadang memberi pengajaran lewat tindakan atau perbuatan lebih mengena dari hanya sekedar berkata-kata. Karena, sebuah nasehat yang tidak berpotensi untuk dikomplin karena tidak kontras dengan keadaan sipengajar, dapat dipastikan pelajaran itu sangat berguna. Apalagi seia-sekata perbuatan dengan kata-kata. Kita simak sabda Nabi saw berikut ini:
لَوْ كانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
‘Seandainya dunia ini punya harga seharga sayap unggaspun di sisi Allah swt, sungguh tidak akan diberikan kepada orang-orang kafir seteguk airpun juga’.(HR. Tarmizi).

KESIMPULAN
Banyak menela’ah bukti tentang sifat-sifat wajib, mustahil dan harus pada Rasul serta banyak menyesakinya dalam pikiran, dapat mengantar seorang mukallaf kepada keyakinan akan keberadaan para Rasul. Berpikir secara objektif dan argumentative bisa menguatkan akan keyakinan yang telah bersemi. Dan itu adalah modal yang sangat berharga di tengah-tengah masa yang lebih bersikap apatis terhadap isi hati, karena lebih mengutamakan isi otak dalam rangka untuk lebih memudahkan kehidupan di sini dan mengabaikan kehidupan yang abadi kelak.
 
Apalagi ditambah dengan usaha-usaha menjauhkan umat Islam dari ‘akidah dan syariatnya dengan berbagai aliran sesat yang banyak bermunculan di mana-mana. Mulai dari aliran sesat yang berakar kuat dalam ‘hutan’ sampai aliran yang bersifat eklusif merasuki lembaga-lembaga pendidikan yang bermarkas di tengah-tengah kota. Atas nama virus kebebasan, umat Islam digiring melecehkan Nabinya sendiri, menafsirkan Al-Quran dengan metode pesanan kuffar, hermeunetik. Banyak menjungkalkan kaidah-kaidah yang tumbuh yang rumpun Islam. Terpedaya dengan pesona permukaan kebudayaan kaum kuffar yang keropos di dalam, sehingga satu-satunya yang sempat terpikirkan oleh mereka hanya, bagaimana menanggalkan Islam serta atributnya dan berpola pikir tidak lagi berlandaskan padang kurma yang sudah kuno ditelan masa.
 
Mengokohkan ‘akidah, khususnya tentang kenabian, dapat memagari nilai-nilai moral islami yang secara ‘syar’an’ dan ‘aqlan’ sangat didesak untuk diyakini. Artinya, tidak ada ruang sesempit apapun untuk bisa menghindar agar tidak meyakini keberadaan Nabi serta perangkat-perangkatnya. 

Wallahu a’lam bish-shawab.


0 Komentar

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel